Senin, 23 Oktober 2017

Faktor Pendidikan Nomor Satu Demi Keluarga



Oleh: Hadi Setiyo, S.Pd.
METRO, MI

Keluarga merupakan tatanan institusi dan secara masif bagian dari masyarakat Indonesia. Negara Indonesia dapat bersaing dengan negara-negara maju yang ada di dunia, sehingga tidak hanya menyandang sebuah negara yang sedang berkembang dengan berlarut-larut, sebagai catatan, harus memiliki sumber daya manusia (SDM) yang ada berkualitas. Sumberdaya Manusia yang Berkualitas salah satunya, lahir dari suatu keluarga yang memiliki sistem pendidikan yang baik. Jadi saling berhubungan, sehingga faktor pendidikan ini lah yang harus dinomor satukan dalam keluarga tersebut.
Seperti halnya keluarga Bapak Waluyo dan Ibu Sulasmi, yang berdomisili di Pemangku Air Putih 1, Desa Tanjung Raya, kecamatan Waytenong, Kabupaten Lampung Barat, meski memiliki latar belakang tamatan SMP yang berprofesi sebagai petani kopi dan segala keterbatasan yang dimiliki, tetapi masalah pendidikan bagi putra-putrinya sangat diutamakan. Keinginan untuk memperoleh pendidikan formal kala itu begitu besar, namun karena faktor biaya dan adat yang menyebabkan mereka hanya mengenyam sebatas pendidikan tersebut. Keluarga harus senantiasa menyadari kehadiran buah hati senantiasa tumbuh dan berkembang melalui dunia pendidikan, baik yang ada dalam keluarga itu maupun sekolah yang bersifat formal.

Pendidikan Di Lingkungan Keluarga
Penerapan pendidikan di lingkungan keluarga,yaitu dengan senantiasa menerapkan pola disiplin. Memang tidak seperti militer, namun dengan memiliki sikap disiplin, maka akan menjadikan seorang anak menjadi bertanggungjawab dan tidak mudah putus asa. Misalnya dengan memenejemen waktu antara bermain, belajar dan membantu orangtua. Ketika putra-putrinya belajar, maka sebagai orangtua, ikut mendampingi dan membimbing, mengajari sebisa mungkin. Ikut mengingatkan, mengecek jadwal pelajaran, memfasilitasi apa keperluan yang dibutuhkan bagi putra-putrinya, meski kesibukan akan hal pekerjaan yang begitu menguras tenaga mereka tetap terapkan. Sehingga anak merasa dirinya diperhatikan dengan penuh kasih sayang. “Walau badan terasa lelah, capek, seharian bekarja mencangkul, tapi tetap saya sempatkan, padahal enaknya istirahat, kalau gak nonton televisi”. Ujar  Bapak Waluyo. “Tapi ya namanya anak-anak kadang susah juga, apalagi teman-temanyakan bebas gak pernah belajar, jadi keikut”. “Menjadi orangtua harus penuh kesabaran, ada satu lagi memberikan dorongan, baik anggaota keluarga maupun sanak saudara dekat Lanjut Pak Waluyo. “Ponakan saya Witono Hardi yang sekarang dosen ITS Surabaya itu juga tidak henti-hentinya memberikan nasihat kepada anak-anak saya, efeknya luar biasa “. Selain itu dengan mengedepankan toleransi dalam keluarga, karena walaupun satu kandung, pola fikir putra-putri memiliki keberagaman, baik dari segi makanan kesukaan, kebiasaan, ataupun dari sifat-sifat itu sendiri. Kejujuran, gotong royong yang sangat langka dimasa sekarang, menjadi sebuah perhatian yang sangat serius. Penerapanya dimulai dari ucapan, yang jauh dari kata dusta dan fitnah. Meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah subhanawataala dengan menertibkan dalam menjalankan ibadah suatu hal yang mutlak. Dengan pembiasaan-pembiasaan ini yang natinya menjadi modal dalam mengarungi kehidupan dilingkungan sosialnya.

Sekolah Formal Menjadi Faktor Pendukung
Tekat bulat dan keteguhan hati kuat yang dimiliki keluarga tersebut, maka memutuskan putra-putrinya untuk dinyekolahkan hingga sarjana, agar tidak memiliki nasib yang sama dengan orangtuanya kerja kasar. Menyadari bahwasanya putra-putri tidak cukup dengan hanya meninggalkan harta-benda saja dan perlunya ilmu pengetahuan dalam bekal hidup. Angan-angan ini tidak begitu mudah dilakukan, karena begitu kuat pengaruh, terutama di lingkungan sekitar, cemooh,merendahkan harkat martabat sering kali dilontarkan. Karena pada saat itu keluarga yang menyekolahkan putra-putrinya hingga sarjana masih jarang. Pengaruh pergaulan sang anak pun juga, membuat kerepotan orangtua, sampai gedek kepala.

Alhasil, karena dalam lingkungan keluarga tersebut telah digembleng sangat matang, dengan mengucap syukur alhamdulilah, keluarga Bapak Waluyo dan Ibu Sulasmi, yang memiliki 5 buah hati mengenyam pendidikan hingga bangku sarjana. “Anak saya 5, yang pertama laki-laki, bernama Sugiarto, dulu disekolahkan perusahaan tempat ia bekerja digalangan kapal hingga ke Jepang. Ke-2 laki-laki, bernama Anis Dianto, masuk UNILA tanpa tes mengambil jurusan pertanian, ke-3 Hadi Setiyo, lulusan keguruan, ke-4 Dedi Riswanto, lulusan keguruan juga dan yang terakhir perempuan, bernama Sulisetiani sama mengambil keguruan dan masih semester 1 ini”. Ujar Pak Waluyo dengan gaya bahasa jawa tulenya. Kisah ini seyogyanya kita jadikan renungan, bahwasanya keadaan ekonomi khusunya, bukan menjadi halangan untuk meniti karier putra-putrinya dan materi, bukan tolak ukur kesuksesan. “Apalagi sekarang, kita hidup jaman padang (era modern yang serba instan, serba mudah, hidup kecukupan), agar pola fikir kita berkemajuan, sehingga menjadikan keluarga yang berkualitas menuju Indonesia yang gemilang pesan Pak Waluyo.

Senin, 16 Oktober 2017

Post Power Syndrome, tak Mampu Menerima Keyataan Hidup saat Menjelang dan Masa Pensiun


Oleh: Hadi Setiyo, S.Pd.

Pekerjaan menjadi faktor dan modal utama dalam menjalani kehidupan di lingkungan sosial suatu individu. Suatu kondisi individu tidak lagi bekerja pada pekerjaan yang biasa dilakukan, baik di lingkungan pemerintahan, instansi negeri/swasta, BUMN, maupun pengusaha, pengertian inilah yang disebut dengan pensiun.
Masa pensiun mempengaruhi keadaan psikologi pada mental seseorang. Masa transisi ini yang sering dianggap sebagai kenyataan yang tidak menyenangkan, menimbulkan kegundahan bagi mereka, hingga dapat mengalami stres berat, serta lebih dari itu, namun disisi lain, tidak berpengaruh terhadap keadaan dari seseorang tersebut. Masa pensiun menjadi momok sebagian besar kalangan atau bahkan secara tidak sadar mengalami post power syndrome. Post power syndrome merupakan suatu gejala yang terjadi di mana seseorang tenggelam dan hidup di dalam bayang-bayang kehebatan, keberhasilan masa lalunya sehingga cenderung sulit menerima keadaan yang terjadi sekarang.
Seseorang yang mengalami post power syndrome, terutama yang memiliki posisi pada jabatan penting, biasanya menganggap bahwa jabatan/pekerjaan merupakan hal yang sangat membanggakan, bahkan cenderung menjadikan pekerjaannya sebagai dunianya sehingga ketika dijabat oleh orang lain merasa tidak rela. Hal ini senada dengan pendapat Turner & Helms  dalam bukunya yang menjelaskan penyebab post power syndrome, yaitu ketika seseorang mengalami kehilangan pekerjaan (masa pensiun) yang merasa dirinya menjadi kehilangan harga diri, jabatan, kebanggaan diri, serta hilangnya sumber penghasilan. Tidak hanya itu, sebab lainya dapat terjadi karena faktor, perubahan aktivitas dari aktif menjadi pasif, perubahan fasilitas, perubahan lingkungan sosial, masa depan/jumlah tanggungan anak dll.
Beberapa gejala Post Power Syndrome dapat terlihat antara lain, menjadi lebih cepat terlihat tua tampaknya, jika dibandingkan ketika masih bekerja, rambutnya didominasi warna putih (uban), berkeriput, dan menjadi pemurung, sakit-sakitan, tubuhnya menjadi lemah. Cepat mudah tersinggung kemudian merasa tidak berharga, ingin menarik diri dari lingkungan pergaulan, ingin bersembunyi, contoh lain menjadi suka ikut campur dan mengatur secara berlebihan hal-hal di sekitarnya yang bahkan bukan menjadi tanggung jawab ataupun urusannya dan tidak diminta. Malu bertemu orang lain, lebih mudah melakukan pola-pola kekerasan atau menunjukkan kemarahan baik di rumah atau di tempat yang lain, ataupun frustasi. Di sisi lain gejala post power syndrome ini tentunya berbeda pada setiap individu yang mengalaminya.
Masa pensiun bukan hal yang harus ditakuti, dan dihindari, milikilah anggapan dalam hati nurani, bahwasanya di dunia ini tidak ada yang abadi, semua yang bekerja akan memasuki masa-masa tersebut, jadi tidak hanya sendiri. Seperti halnya Bapak Batu Bara yang telah pensiun 12 tahun yang lalu dan telah berkarya selama 34 tahun, Beliau menuturkan “Masa pensiun harus disyukuri”. “Melalui kesyukuran membuat seseorang bahagia, bahkan menginingkan cepat pensiun, karena telah bosan, dan jenuh, padahal setelah pensiun mau kegiatan apa belum ditentukan”. Ujar beliau. Keluarga sebagai orang yang terdekat, harus memberikan motifasi serta dorongan terhadap seseorang yang akan memasuki masa pensiun dan telah pensiun nantinya, bisa juga dengan menyalurkan hobi-hobi, misalnya melalui beternak, berladang, menyibukan diri dengan mengikuti kegiatan kemasyarakatan. Perlu di ingat yang terpenting, membangun relasi yang baik dengan rekan kerja serta masyarakat sekitar dengan sikap yang mulia, tidak anggkuh/sombong  pada saat masih aktif menjabat, sehingga ketika memasuki masa pensiun dan telah pensiun tidak merasa takut, tertekan, akan adanya anggapan tidak diterima/dikuculkan setelah kembali ditengah-tengah masyakata. Jabatan/kedudukan bersifat sementara, tidak menjadi berarti ketika telah tidak menjabat/pensiun dan akan kembali menjadi masyarakat biasa.



Senin, 09 Oktober 2017

Generasi Muda tak Boleh Melupakan Sejarah


Oleh: Hadi Setiyo, S.Pd.

Hari Kesaktian Pancasila, tanggal 1 Oktober 1965 merupakan hari yang paling bersejarah. Idiologi, falsafah serta pandangan hidup Bangsa Indonesia bersumber dari Pancasila. Gerakan 30 September (dalam dokumen pemerintah tertulis Gerakan 30 September/PKI, disingkat G30S/PKI), suatu gerakan kebiadapan yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Fakta sejarah membuktikan bahwa kekejian yang dilakukan pada saat dini hari, tanggal 30 September sampai di awal 1 Oktober 1965 secara terencana dengan menculik, melakukan penyiksaan dan pembunuhan yang tidak manusiawi secara sahdis, 7 Jenderal senior dan beberapa orang lain yang dianggap sebagai penghalang, merupakan upaya kudeta penggantian idiologi pancasila yang akan digantikan dengan idiologi komunis.
Salah satu dari 7 daftar nama yang masuk target operasi PKI, yaitu Jenderal TNI Abdulharis Nasution (AH Nasution) namun beliau selamat dari peristiwa maut, tetapi putrinya Ade Irma Suryani Nasution serta Ajudan sang jenderal (Lettu CZI Pierre Andres Tendean) menjadi korban usaha pembuhuhan tersebut.  Adapun nama 6 jenderal senior TNI AD yang menjadi kebiadapan PKI  meliputi, Letjen TNI, Ahmad Yani (Menteri/Panglima Angkatan Darat/Kepala Staf Komando Operasi Tertinggi), Mayjen TNI, Mas Tirtodarmo Haryono (Deputi III Menteri/Panglima AD bidang Perencanaan dan Pembinaan) dan Brigjen Donal Isacc Panjaitan (Asisten IV Menteri/Panglima AD Bidang Logistik) gugur di tempat. Tiga korban lainya Brigjen TNI, Sutoyo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat),  Mayjen TNI, Raden Soeprapto (Deputi II Menteri/Panglima AD Bidang Administrasi) dan Mayjen TNI, Siswondo Parman (Asisten I Menteri/Panglima AD Bidang Intelijen), dibawa oleh pemberontak dalam kondisi hidup, ke suatu lokasi di Pondok Gede, Jakarta dan disiksa, dibunuh kemudian jasatnya, baik yang gugur di tempat atau yang mengelami penyiksaan, dimasukan ke dalam sumur yang dikenal sebagai lubang buaya.
 Selain itu, pada sore hari 1 Oktober 1965, beberapa orang lainnya juga turut menjadi korban: Bripka Karel Sasuit Tubun (Pengawal kediaman resmi Wakil Perdana Menteri II dr.J. Leimena), Kolonel Katamso Darmo Kusumo (Komandan Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta), Letkol Sugiono Mangunwiyoto (Kepala Staf Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta).
Sebagai generasi muda, harus mengetahui bahwa PKI sebagai partai terlarang dan faham komunis tidak boleh tumbuh keberadaanya di Indonesia. Terbukti telah melakukan pemberontakan tidak hanya sekali. Maka dari itu apa yang telah terjadi tidak boleh terulang kembali sekarang dan di era yang akan datang. Meski PKI sudah dibubarkan namun tetap harus waspada,  begitu juga dengan faham-faham lain yang bertentangan dengan pancasila. Sebagai wujud mengenang, dapat dilakukan dengan menonton bareng pemutaran film G30S/PKI yang disutradarai oleh Arifi C Noer. Mengenang bukan berarti menimbulkan kebencian dan menaruh dendam mendalam, namun dijadikan pembelajaran dan sangat membahayakan keutuhan negara.
Empat pilar kebangsaan, Pancasila, UUD1945, Bhinneka Tunggal Ika, serta Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagai pilar yang merupakan  unsur memperkuat pemahaman setiap insan, untuk menepis pelemahan faham komunisme. Tantangan yang terbesar saat ini yang dihadapi Bangsa Indonesia sangat kompleks. Selain dari faham yang bertentangan dengan idiologi Pancasila. Suatu perbuatan yang melanggar norma-norma Pancasila yaitu tindakan korupsi.
Apabila bercermin dari sejarah itu sendiri, tidak selayaknya pewaris bangsa ini tega melakukan penghianatan terhadap negaranya. Marak sekali sendi kehidupan dikotori dengan manusia yang tak bermoral dengan  tega melakukan tindakan tersebut. Baik yang dilakukan untuk kepentingan golonganya, maupun secara individu guna mamperkaya diri. Melalui kekuasaan dengan membeda-bedakan antara pendukung dan yang tidak mendukung, sehingga nampak sekali pilih kasih.



Selasa, 03 Oktober 2017

Geliat Literasi Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Daerah Kota Metro


Oleh: Hadi Setiyo, S.Pd.

Dukungan instansi pemerintah Kota Metro mengenai program literasi terhadap masyarakat begitu besar. Hal ini dapat kita lihat dari kegiatan acara Hari Kunjungan Perpustakaan yang diselenggarakan oleh Dinas Perpustakaan dan kearsipan Daerah (Dipusarda) Kota Metro yang berlangsung pada tanggal 26 sampai dengan 27 September 2017 lalu. Kegiatan ini dilakukan guna menumbuh kembangkan budaya literasi, khususnya masyarakan yang ada di Kota Metro. Adapun kegiatan yang diselenggarankan berupa, acara 100 meter lorong baca, donasi baca, serta berbagai perlombaan meliputi; Lomba mewarnai (TK), Lomba bercerita (SD), lomba pidato Bahasa Ingggris (SLTA), tidak hanya itu, ditambah lagi dengan agenda pendukung berupa; gelar vidio walikota dan tim PKK “Ayo membaca”, lomba menulis cerpen online, bazar buku, gelar pentas, nonton bareng, bedah buku, sketsa boot, photo booth, gelar kreativitas, lomba selfi, serta gelar karya cipta putra daerah.
Penyerahan hadiah dan pemberian apresiasi pada acara puncak tanggal 27 September 2017 yang secara langsung diberikan oleh Bapak H. Ahmad Pairin, S.Sos, selaku Wali Kota Metro, Bapak H. Djohan, S.E., M.M., selaku Wakil Wali Kota Metro, Kapolres Metro AKBP Ibu Umi Fadilah Astutik, S.Sos., S.IK., M.Si., Ketua DPRD Kota Metro Ibu Anna Morinda, S.E., M.M. dan perwakilan Dandim 0411 Lamteng, serta instansi lain yang turut hadir, kepada para pelajar, peserta lomba dan pustakawan yang berprestasi serta turut berperan aktif.
Di awal sudah dibicarakan mengenai literasi. Kata literasi sudah tidak asing lagi kita dengar, sebenarnya apasih literasi itu? Menurut National Institute for Literacy, mendefinisikan Literasi sebagai "Kemampuan individu untuk membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian yang diperlukan dalam pekerjaan, keluarga dan masyarakat. Dari definisi ini terkandung makna bahwa definisi Literasi tergantung pada keterampilan yang dibutuhkan dalam lingkungan tertentu.
Banyaknya cara yang dilakukan agar individu membudayakan literasi, salah satunya kegiatan yang dilakukan oleh Dinas Perpustakaan dan kearsipan Daerah (Dipusarda) dengan mengadakan agenda serta perlombaan-perlombaan, yang bisa ditiru oleh instansi-istansi yang lain.
Ternyata antusias masyarakat begitu besar, terlihat dari setiap kegiatan, misalkan Acara 100 meter lorong baca yang banyak melibatkan sekolah dalam penyediaan stan buku perpustakanya, memiliki tujuan agar dapat meningkatkan minat membaca masyarakat, yang merupakan bagian dari litersi itu sendiri, banyak hal yang diperoleh dari manfaat membaca diantaranya; mengembangkan kemahiran bertuturkata, mengembangkan pikiran dan cara berfikir, menambah pengetahuan, melatih daya ingat dan pemahaman, mengambil manfaat dari pengalaman orang lain, mengembangkan kemampuan mengolah informasi dan ilmu pengetahuan kemudian menerapkanya dalam kehidupan sehari-hari, membantu menyegarkan pikiran dan mengisi waktu luang agar tidak sia-sia, serta menguasai banyak kosakata, kalimat dan isi bacaan.
Berikutnya dari agenda pendukung menulis cerpen online, yang juga penulis ikut berpartisipasi. Kegiatan litersi begitu terasa, dengan menghubungkan ide-ide yang ada, kemudian merangkainya menjadi satu kesatuan yang utuh, secara kronologis, membutuhkan imajinasi dan pemikiran yang ekstra, terkhusus bagi pemula. Apresiasi terhadap hasil karya oranglain pula menjadi dorongan memunculkan penulis-penulis baru di Kota Pendidikan Metro serta talenta-talenta lain sesuai dengan bakatnya. Peserta didik yang berada dalam lingkungan sekolah ikut ambil bagian dalam mensukseskan Kota Metro menjadi kota pendidikan. Bila literasi telah tertanam dan menjadi budaya masyarakat, maka Kota Metro menjadi kota rujukan bagi kota lain yang ada di Indonesia.


dr. Djoko Judodjoko, SpB Jakarta, CNBC Indonesia - Kabar duka datang dari dunia kesehatan Tanah Air di tengah upaya melawan virus coro...