Rabu, 01 April 2020


dr. Djoko Judodjoko, SpB

Jakarta, CNBC Indonesia - Kabar duka datang dari dunia kesehatan Tanah Air di tengah upaya melawan virus corona (COVID-19). Salah satu dokter bedah senior dari Universitas Indonesia yakni dokter Djoko Judodjoko meninggal dunia pada Sabtu (21/3/2020).

Dokter yang menimba segudang ilmu kedokteran di berbagai universitas ternama di Indonesia dan luar negeri itu berpulang setelah terinfeksi COVID-19.

Kabar ini disampaikan oleh dokter Pandu Riono melalui akun Twitter pribadinya, @drpriono. Pandu adalah staf senior Departemen Biostatistik dan Kependudukan, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.

"Selamat jalan Mas Koko, maafkan saya belum berhasil mendorong agar pemerintah @jokowi serius mengatasi pandemi covid19. Mas terinfeksi karena aktif beri layanan. Banyak petugas kesehatan yang terinfeksi dan pergi, minimnya APD [alat perlindungan diri] sulit dimaafkan. Tidak cukup bicara, kita semua berbuat," tulis dr Pandu.

Sebelumnya, pada 18 Maret lalu, seorang dokter juga meninggal di RS Adam Malik, Medan ketika berstatus pasien dalam pengawasan (PDP) corona.

"Kita sangat prihatin kemarin tanggal 17 Maret satu pasien PDP, saya tegaskan, satu pasien PDP meninggal dunia. Mungkin namanya sudah tahu, namanya UMT, dokter UMT, saya singkat walau sudah ada di publik dan pada saat meninggal posisinya adalah PDP sambil kita menunggu hasil lab Balitbang Kementerian Kesehatan," kata Kepala Pelaksana Gugus Tugas COVID-19 Sumut, Riadil Akhir Lubis, seperti dikutip dari detikcom Rabu (18/3/2020).

Lalu, siapa sebenarnya dokter Djoko?

Mengacu keterangan di situs resmi Rumah Sakit EMC Sentul City, Bogor, dokter Djoko sudah banyak menimba ilmu di berbagai universitas ternama di Indonesia dan global:
1976, Dokter Umum : Fakultas kedokteran, Universitas Indonesia
1984, Microsurgey of the Cerebro Vascular Disease, The Fujita Health University, Japan
1985, Microsurgery of the Skull Base Tumor, di The Nordstadt Krankenhaous Hannover
1986, Dokter Spesialis Bedah Saraf, Universitas Padjajaran
1992, Posterior Spinal Fusion Surgery training, di Royal Perth Rehabilitation Center
1995, Stereotactic Functional Neurosurgery training, di Gunma University, Japan
1995, Microsurgery of the Cerebral Aneurysm training, di The Research Institute for the Brain and Blood Vessel, Akita, Japan
2002, Endoscopic Spine Surgery training, di University of Bordeaux, Perancis
2002, Spine Surgery and Instrumentation training, di St. Louis University, Missouri USA
2003, Endoscopic Spine Surgery training, di Allegheny General Hospital, Pittsburgh, USA
2003, Spine Surgery and Instrumentation training, di Uniformed Service University for the health sciences, US Navy, Bethesda USA
2005, Spine Surgery and Instrumentation training, di The Cleveland Clinic Foundation, USA

Situs alodokter juga mencatat, dokter Djoko juga merupakan dokter bedah yang berpraktik di Bogor Medical Center. Almarhum memiliki beberapa pengalaman sebagai dokter bedah di beberapa rumah sakit, seperti Mayapada Hospital, Siloam Hospital, dan Elang Medical Center, Sentul, Bogor.
Dokter Djoko juga tergabung dalam Ikatan Ahli Bedah Indonesia dan Ikatan Dokter Indonesia.
Selain menempuh profesi Kedokteran Umum di Universitas Indonesia pada 1976 dan Spesialis Bedah Saraf di Universitas Padjadjaran pada 1986, dokter Djoko juga memiliki pengalaman menempuh pendidikan informal seperti program Microsurgery of the Skull Base Tumor, di The Nordstadt Krankenhaous Hannover pada 1985 dan Posterior Spinal Fusion Surgery training, di Royal Perth Rehabilitation Center pada 1992.
Selamat jalan dokter.

Dikutip dari CNBC

Senin, 16 Desember 2019


Rekapan Daftar Nama Lulus Seleksi Administrasi CPNS 2019 KAB/Kota Se-Provinsi Lampung



Rabu, 29 November 2017

PERINGATAN HUT PGRI Ke-72 dan KORPRI Ke-46 KOTA METRO



Peringatan HUT PGRI Ke-72 dan Korpri Ke-46 Kota Metro, di selenggarakan di lapangan 16 c, di hadiri oleh semua unsur, mau tahu, buka saja langsung videonya.



Sabtu, 04 November 2017

Sumber Daya Manusia Berkompeten Membutuhkan Pendidikan Karakter


Oleh: Hadi Setiyo, S.Pd.

Gerakan Penguatan Pendidikan karakter (PPK) menjadi hal yang krusial bagi Bangsa Indonesia, di samping sumber daya manusia yang berkompetensi, sebab saat ini nampak berbagai persoalan yang dapat mengancam keutuhan dan masa depan bangsa Indonesia. Sebagai contoh maraknya tindakan intoleransi, munculnya gerakan-gerakan separatis, sehingga dapat memecah belah kebhinekaan dan keutuhan NKRI, perilaku kekerasan dalam lingkungan pendidikan dan di masyarakat, kejahatan seksual, pergaulan bebas dan kecenderungan anak-anak muda pada narkoba, serta yang tidak kalah penting mengenai tindak kejahatan kasus korupsi.

Pendidikan karakter di dunia Pendidikan
Upaya memperkuat pendidikan karakter Bangsa Indonesia, melalui salah satu butir termuat dalam Nawacita yang dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo. Beliau berkeinginan melakukan Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM) yang akan diterapkan di dalam dunia pendidikan serta seluruh sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pada tahun 2010, pendidikan karakter sudah pernah dimunculkan sebagai gerakan
nasional. Namun, keberadaan gerakan pendidikan karakter ini belum cukup kuat. Oleh sebab itu, pendidikan karakter perlu diprioritaskan dan diperkuat kembali menjadi gerakan nasional pendidikan karakter bangsa melalui program nasional Penguatan Pendidikan Karakter (PPK).
Dunia pendidikan menjadi dasar yang sangat tepat bagi pembentukan karakter bangsa, karena memiliki struktur, sistem dan perangkat yang tersebar di seluruh negeri dari daerah sampai pusat. Pembentukan karakter bangsa ini ingin dilaksanakan secara menyeluruh dan sistematis melalui program Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) yang terintegrasi dalam keseluruhan sistem pendidikan, budaya sekolah dan dalam kerja sama dengan komunitas.

Tujuan dan penerapan Gerakan Penguatan Pendidikan Karakter
Tujuan program PPK adalah menanamkan nilai-nilai pembentukan karakter bangsa secara masif dan efektif melalui implementasi nilai-nilai utama Gerakan Nasional Revolusi Mental (religius, nasionalis, mandiri, gotong-royong dan integritas) yang akan menjadi fokus pembelajaran, pembiasaan, dan pembudayaan, sehingga pendidikan karakter bangsa.
Penguatan Pendidikan Karakter sungguh dapat mengubah perilaku, cara berpikir dan cara bertindak seluruh bangsa Indonesia menjadi lebih baik dan berintegritas. Program PPK diharapkan mampu menumbuhkan semangat belajar dan membuat peserta didik senang di sekolah sebagai rumah yang ramah untuk bertumbuh dan berkembang.

Penerapan Gerakan Penguatan Pendidikan Karakter di sekolah melalui pendekatan pendidikan karakter berbasis kelas, budaya sekolah, dan masyarakat sesuai dengan potensi lingkungan dan kearifan lokal yang ada.

Senin, 23 Oktober 2017

Faktor Pendidikan Nomor Satu Demi Keluarga



Oleh: Hadi Setiyo, S.Pd.
METRO, MI

Keluarga merupakan tatanan institusi dan secara masif bagian dari masyarakat Indonesia. Negara Indonesia dapat bersaing dengan negara-negara maju yang ada di dunia, sehingga tidak hanya menyandang sebuah negara yang sedang berkembang dengan berlarut-larut, sebagai catatan, harus memiliki sumber daya manusia (SDM) yang ada berkualitas. Sumberdaya Manusia yang Berkualitas salah satunya, lahir dari suatu keluarga yang memiliki sistem pendidikan yang baik. Jadi saling berhubungan, sehingga faktor pendidikan ini lah yang harus dinomor satukan dalam keluarga tersebut.
Seperti halnya keluarga Bapak Waluyo dan Ibu Sulasmi, yang berdomisili di Pemangku Air Putih 1, Desa Tanjung Raya, kecamatan Waytenong, Kabupaten Lampung Barat, meski memiliki latar belakang tamatan SMP yang berprofesi sebagai petani kopi dan segala keterbatasan yang dimiliki, tetapi masalah pendidikan bagi putra-putrinya sangat diutamakan. Keinginan untuk memperoleh pendidikan formal kala itu begitu besar, namun karena faktor biaya dan adat yang menyebabkan mereka hanya mengenyam sebatas pendidikan tersebut. Keluarga harus senantiasa menyadari kehadiran buah hati senantiasa tumbuh dan berkembang melalui dunia pendidikan, baik yang ada dalam keluarga itu maupun sekolah yang bersifat formal.

Pendidikan Di Lingkungan Keluarga
Penerapan pendidikan di lingkungan keluarga,yaitu dengan senantiasa menerapkan pola disiplin. Memang tidak seperti militer, namun dengan memiliki sikap disiplin, maka akan menjadikan seorang anak menjadi bertanggungjawab dan tidak mudah putus asa. Misalnya dengan memenejemen waktu antara bermain, belajar dan membantu orangtua. Ketika putra-putrinya belajar, maka sebagai orangtua, ikut mendampingi dan membimbing, mengajari sebisa mungkin. Ikut mengingatkan, mengecek jadwal pelajaran, memfasilitasi apa keperluan yang dibutuhkan bagi putra-putrinya, meski kesibukan akan hal pekerjaan yang begitu menguras tenaga mereka tetap terapkan. Sehingga anak merasa dirinya diperhatikan dengan penuh kasih sayang. “Walau badan terasa lelah, capek, seharian bekarja mencangkul, tapi tetap saya sempatkan, padahal enaknya istirahat, kalau gak nonton televisi”. Ujar  Bapak Waluyo. “Tapi ya namanya anak-anak kadang susah juga, apalagi teman-temanyakan bebas gak pernah belajar, jadi keikut”. “Menjadi orangtua harus penuh kesabaran, ada satu lagi memberikan dorongan, baik anggaota keluarga maupun sanak saudara dekat Lanjut Pak Waluyo. “Ponakan saya Witono Hardi yang sekarang dosen ITS Surabaya itu juga tidak henti-hentinya memberikan nasihat kepada anak-anak saya, efeknya luar biasa “. Selain itu dengan mengedepankan toleransi dalam keluarga, karena walaupun satu kandung, pola fikir putra-putri memiliki keberagaman, baik dari segi makanan kesukaan, kebiasaan, ataupun dari sifat-sifat itu sendiri. Kejujuran, gotong royong yang sangat langka dimasa sekarang, menjadi sebuah perhatian yang sangat serius. Penerapanya dimulai dari ucapan, yang jauh dari kata dusta dan fitnah. Meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah subhanawataala dengan menertibkan dalam menjalankan ibadah suatu hal yang mutlak. Dengan pembiasaan-pembiasaan ini yang natinya menjadi modal dalam mengarungi kehidupan dilingkungan sosialnya.

Sekolah Formal Menjadi Faktor Pendukung
Tekat bulat dan keteguhan hati kuat yang dimiliki keluarga tersebut, maka memutuskan putra-putrinya untuk dinyekolahkan hingga sarjana, agar tidak memiliki nasib yang sama dengan orangtuanya kerja kasar. Menyadari bahwasanya putra-putri tidak cukup dengan hanya meninggalkan harta-benda saja dan perlunya ilmu pengetahuan dalam bekal hidup. Angan-angan ini tidak begitu mudah dilakukan, karena begitu kuat pengaruh, terutama di lingkungan sekitar, cemooh,merendahkan harkat martabat sering kali dilontarkan. Karena pada saat itu keluarga yang menyekolahkan putra-putrinya hingga sarjana masih jarang. Pengaruh pergaulan sang anak pun juga, membuat kerepotan orangtua, sampai gedek kepala.

Alhasil, karena dalam lingkungan keluarga tersebut telah digembleng sangat matang, dengan mengucap syukur alhamdulilah, keluarga Bapak Waluyo dan Ibu Sulasmi, yang memiliki 5 buah hati mengenyam pendidikan hingga bangku sarjana. “Anak saya 5, yang pertama laki-laki, bernama Sugiarto, dulu disekolahkan perusahaan tempat ia bekerja digalangan kapal hingga ke Jepang. Ke-2 laki-laki, bernama Anis Dianto, masuk UNILA tanpa tes mengambil jurusan pertanian, ke-3 Hadi Setiyo, lulusan keguruan, ke-4 Dedi Riswanto, lulusan keguruan juga dan yang terakhir perempuan, bernama Sulisetiani sama mengambil keguruan dan masih semester 1 ini”. Ujar Pak Waluyo dengan gaya bahasa jawa tulenya. Kisah ini seyogyanya kita jadikan renungan, bahwasanya keadaan ekonomi khusunya, bukan menjadi halangan untuk meniti karier putra-putrinya dan materi, bukan tolak ukur kesuksesan. “Apalagi sekarang, kita hidup jaman padang (era modern yang serba instan, serba mudah, hidup kecukupan), agar pola fikir kita berkemajuan, sehingga menjadikan keluarga yang berkualitas menuju Indonesia yang gemilang pesan Pak Waluyo.

Senin, 16 Oktober 2017

Post Power Syndrome, tak Mampu Menerima Keyataan Hidup saat Menjelang dan Masa Pensiun


Oleh: Hadi Setiyo, S.Pd.

Pekerjaan menjadi faktor dan modal utama dalam menjalani kehidupan di lingkungan sosial suatu individu. Suatu kondisi individu tidak lagi bekerja pada pekerjaan yang biasa dilakukan, baik di lingkungan pemerintahan, instansi negeri/swasta, BUMN, maupun pengusaha, pengertian inilah yang disebut dengan pensiun.
Masa pensiun mempengaruhi keadaan psikologi pada mental seseorang. Masa transisi ini yang sering dianggap sebagai kenyataan yang tidak menyenangkan, menimbulkan kegundahan bagi mereka, hingga dapat mengalami stres berat, serta lebih dari itu, namun disisi lain, tidak berpengaruh terhadap keadaan dari seseorang tersebut. Masa pensiun menjadi momok sebagian besar kalangan atau bahkan secara tidak sadar mengalami post power syndrome. Post power syndrome merupakan suatu gejala yang terjadi di mana seseorang tenggelam dan hidup di dalam bayang-bayang kehebatan, keberhasilan masa lalunya sehingga cenderung sulit menerima keadaan yang terjadi sekarang.
Seseorang yang mengalami post power syndrome, terutama yang memiliki posisi pada jabatan penting, biasanya menganggap bahwa jabatan/pekerjaan merupakan hal yang sangat membanggakan, bahkan cenderung menjadikan pekerjaannya sebagai dunianya sehingga ketika dijabat oleh orang lain merasa tidak rela. Hal ini senada dengan pendapat Turner & Helms  dalam bukunya yang menjelaskan penyebab post power syndrome, yaitu ketika seseorang mengalami kehilangan pekerjaan (masa pensiun) yang merasa dirinya menjadi kehilangan harga diri, jabatan, kebanggaan diri, serta hilangnya sumber penghasilan. Tidak hanya itu, sebab lainya dapat terjadi karena faktor, perubahan aktivitas dari aktif menjadi pasif, perubahan fasilitas, perubahan lingkungan sosial, masa depan/jumlah tanggungan anak dll.
Beberapa gejala Post Power Syndrome dapat terlihat antara lain, menjadi lebih cepat terlihat tua tampaknya, jika dibandingkan ketika masih bekerja, rambutnya didominasi warna putih (uban), berkeriput, dan menjadi pemurung, sakit-sakitan, tubuhnya menjadi lemah. Cepat mudah tersinggung kemudian merasa tidak berharga, ingin menarik diri dari lingkungan pergaulan, ingin bersembunyi, contoh lain menjadi suka ikut campur dan mengatur secara berlebihan hal-hal di sekitarnya yang bahkan bukan menjadi tanggung jawab ataupun urusannya dan tidak diminta. Malu bertemu orang lain, lebih mudah melakukan pola-pola kekerasan atau menunjukkan kemarahan baik di rumah atau di tempat yang lain, ataupun frustasi. Di sisi lain gejala post power syndrome ini tentunya berbeda pada setiap individu yang mengalaminya.
Masa pensiun bukan hal yang harus ditakuti, dan dihindari, milikilah anggapan dalam hati nurani, bahwasanya di dunia ini tidak ada yang abadi, semua yang bekerja akan memasuki masa-masa tersebut, jadi tidak hanya sendiri. Seperti halnya Bapak Batu Bara yang telah pensiun 12 tahun yang lalu dan telah berkarya selama 34 tahun, Beliau menuturkan “Masa pensiun harus disyukuri”. “Melalui kesyukuran membuat seseorang bahagia, bahkan menginingkan cepat pensiun, karena telah bosan, dan jenuh, padahal setelah pensiun mau kegiatan apa belum ditentukan”. Ujar beliau. Keluarga sebagai orang yang terdekat, harus memberikan motifasi serta dorongan terhadap seseorang yang akan memasuki masa pensiun dan telah pensiun nantinya, bisa juga dengan menyalurkan hobi-hobi, misalnya melalui beternak, berladang, menyibukan diri dengan mengikuti kegiatan kemasyarakatan. Perlu di ingat yang terpenting, membangun relasi yang baik dengan rekan kerja serta masyarakat sekitar dengan sikap yang mulia, tidak anggkuh/sombong  pada saat masih aktif menjabat, sehingga ketika memasuki masa pensiun dan telah pensiun tidak merasa takut, tertekan, akan adanya anggapan tidak diterima/dikuculkan setelah kembali ditengah-tengah masyakata. Jabatan/kedudukan bersifat sementara, tidak menjadi berarti ketika telah tidak menjabat/pensiun dan akan kembali menjadi masyarakat biasa.



dr. Djoko Judodjoko, SpB Jakarta, CNBC Indonesia - Kabar duka datang dari dunia kesehatan Tanah Air di tengah upaya melawan virus coro...